Selasa, 20 Maret 2012

ekonomi islam


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………………….………………….… 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………….……………….. 3
BAB 1
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………….……………………… 4
BAB 2
PEMBAHASAN
A.      SISTEM EKONOMI ISLAM………………………………………………………………………………………………………… 6
B.      LARANGAN-LARANGAN DALAM ISLAM………………….……………………………………………………………….. 8
C.      ETIKA DALAM PERDAGANGAN……………………………………………………………………….……………………….. 9
D.      PENERAPAN SISTEM EKONOMI ISLAM DI  INDONESIA……………………………………….………………….. 14
BAB 3
PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………………………………………  17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………………………………… 18










BAB 1
PENDAHULUAN


Tuhan, rahasia dunia-Mu penuh dengan teka-teki. tapi aku berhasil memecahkan satu teka-teki-Mu, bahwa dunia ini ada dalam mainan jari-jemari-Mu, bahwa tugasku melakukan apa yang aku mampu, bahwa semua peristiwa itu hanyalah mengikuti kehendak-NYA.
Beberapa waktu lalu ketika saya mengajar satu kelas di Paramadina, saya terbawa pada eksplorasi fikiran tentang dua tiang utama ekonomi Islam; kewajiban zakat dan pelarangan bunga. Untuk kesekian kalinya renungan dan dialektika fikiran saya tertuju pada dua instrument utama ekonomi Islam ini. Dua instrument ini tak habis-habisnya memberikan hikmah atas posisinya dalam sebuah perekonomian.

Kewajiban zakat memastikan kehidupan sisi demand ekonomi, sementara pelarangan riba memelihara respon yang sehat dari sisi supply atas setiap aksi demand dalam ekonomi. Keduanya melakukan kerja kolaborasi yang menghasilkan sinergi prima bagi ekonomi, dan ini menggambarkan kombinasi yang indah dari dua instrument utama dari dua sektor yang berbeda.

Hal ini menegaskan bahwa ekonomi produktif menjadi misi utama ekonomi Islam. Karena dua instrument ini bertemu dalam pasar (ekonomi) untuk memastikan sekaligus menjaga aktifitas produktif ekonomi selalu ada. Ketika perekonomian lesu dan menekan demand pasar untuk terus berkurang, maka zakat akan menjaga agar tingkat demand tidak sampai membuat pasar gagal (market failure). Zakat akan memastikan tingkat demand minimum selalu terjaga, yaitu dimana ketika ekonomi selalu memastikan adanya tingkat permintaan pada kebutuhan dasar.

Selain itu, untuk menjaga aktifitas produktif terus terpelihara, maka instrument pelarangan riba akan “memaksa” arah arus modal bermuara pada aktifitas produksi. Dimana pada saat yang sama kecenderungan yang di-drive oleh instrument (prinsip) pelarangan riba akan merespon setiap demand yang ada di pasar. Dan respon tersebut tentu dengan porsi yang memadai untuk membentuk tingkat keseimbangan pasar yang optimal, dimana interaksi itu diharapkan mampu meredam ancaman inflasi. Dengan begitu terlihat bahwa peran dari prinsip pelarangan riba lebih berada pada sektor penawaran dari ekonomi.

Berdasarkan logika diatas, baik implementasi zakat maupun pelarangan riba, substansinya adalah ingin menjaga ekonomi tetap berjalan. Proses produksi dan konsumsi (termasuk proses distribusi didalamnya) dalam ekonomi dapat terus terjaga pada tingkat yang memadai (atau mungkin dapat dikatakan pada tingkat minimum).
Uniknya Tuhan menetapkan kedua prinsip ini; zakat dan pelarangan riba sifatnya wajib dengan tingkat pengenaan sangsi (dosa) ada pada grade yang maksimum jika ada pelanggaran, sehingga dapat dipahami betapa krusialnya kedua instrument ini bagi berjalannya ekonomi. Dilain pihak kita juga melihat betapa Islam memandang bahwa ekonomi sangat penting untuk diproteksi dengan prinsip-prinsip yang sifatnya wajib, dalam rangka menjaga kepentingan manusia. Yaitu kepentingan mereka terpenuhi kebutuhan dasarnya dalam ekonomi, agar mereka mampu tetap menjalankan kewajiban utamanya sebagai hamba Tuhan, yakni beribadah, baik wajib maupun sunnah.

Dengan demikian, berdasarkan pemahaman modus operandi prinsip-prinsip ekonomi Islam ini, kita akhirnya mampu pula menyadari bahwa lesson learn dari ini semua adalah begitu sayangnya Tuhan pada kita sampai-sampai perlindungan-Nya begitu rapih dan tertib, begitu utuh dan menyeluruh.

Nah, jika dicermati lebih jauh, instrument-instrumen atau prinsip-prinsip Islam lainnya yang bersifat sukarela seperti instrument infak, sedekah, wakaf, hadiah dan lain sebagainya hadir serta dianjurkan dalam rangka mempertinggi kualitas berekonomi. Apalagi jika ditambah dengan dukungan kehalusan budi pekerti, moral prilaku dan akhlak islami, ekonomi dalam bingkai Islam akan semakin Indah untuk dinikmati.















BAB 2
·PEMBAHASAN






B.   LARANGAN-LARANGAN DALAM ISLAM


1.      Menyembunyikan Barang Yang Cacat
Dalam jual beli kejujuran menjadi sikap tang harus di perlihatkan baik oleh pedagang maupun pembeli, karena itu dalam perdagangan harus jelas, tidak ada yang di sembunyikan. Menyembunyikan cacat barang yang di jual merupakan kecurangan yang tidak boleh di lakukan. Sebab barang yang di cacat akan mengecewakan pembeli, jika ia mengetahui kecacatan setelah barang itu di beli.

2.      Sumpah Dalam Jual Beli
Dalam jual beli hendaklah menghindarkan dari sumpah yang di maksudkan untuk membuat pembeli tertarik atau mempercayai dan membeli barang yang hendak di jual. Karena sumpah dapat menodai jual beli dan menghilangkan berkah Allah SWT, sabda Nabi:”jauhilah banyak sumpah dalam berjual beli, karena ia akan melariskan dagangan kemudian di lenyapkan keberkahannya”.
Dalam hadist lain Nabi mengungkapkan:”Di katakana: “Wahai Rasullulah bukankah Allah telah menghalalkan jual beli?” Rasulullah menjawab:”Ya, tapi mereka bersumpah, maka mereka dosa. Mereka pun berbicara, maka mereka berdusta.” (riwayat Ahmad dan lainnya dengan Sanad yang shahih)
3.      Bersaing Secara Tidak Sehat
Dan juga tidak di bolehkan seseorang menjual barang orang lain, atau sengaja menjual barang serupa dengan sengaja untuk mengacaukan jual beli yang sedang berlangsung atau mengacaukan harga.
Atau seseorang dengan sengaja menawar harga suatu barang yang sedang di tawar orang lain, baik untuk di milikinya atau untuk mempengaruhi pembelinya.

4.      Spekulasi
Adalah berusaha dengan harapan yang belum jelas, apakah akan untung atau rugi. Apabila untung ia akan mendapatkan untung besar, apabila rugi, maka ia akan rugi besar pula. Usaha ini termasuk tidak jelas atau samar-samar, karena itu bukan perbuatan yang di ajarkan islam. Karena itu dalam melakukan kegiatan ekonomi, hendaknya yang dapat di perhitungkan untung ruginya, sehingga tidak terjebak kepada keadaan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Spekulasi umumnya melahirkan penyesalan dan kesengsaraan, karena itu hendaknya sedapat mungkin di hindarkan.


C.   ETIKA PERDAGANGAN ISLAM

Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.
Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:
1. Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebu –di beberapa ayat– dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan, sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)
Firman Allah SWT:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S Al lsraa(17): 35)
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)
Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan kepada seluruh ummat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan lain yang jauh lebih besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman serta larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan tindakan yang begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang akan merugikan manusia itu sendiri.
Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang, menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau mengatasnamakan jua! beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh agama.
Jika penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, –sudah jelas– merupakan tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang melakukan kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al Qur’an:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)
2. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.
Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan harga selangit sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu bentuk kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Menimbun barang dagangan –terutama barangbarang kehutuhan pokok– dilarang keras oleh Islam! Lantaran perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan barang kebutuhan pokok masyarakat oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh berhagai hal yang negatifseperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak terkendali, barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan kesempatan dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani)
“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)
“Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan melihat, tidak akanpula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)
“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkah an”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)
“Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan).” (HR. Muslim)
Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau perniagaan di zaman sekarang –terutama di pasar-pasar bcbas– tidak banyak lagi diketemukan orang yang mau memperhatikan etiket perdagangan Islam. Bahkan nyaris, setiap orang –penjual maupun pembeli– tidak mampu lagi membedakan barang yang halal dan yang haram.
4. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.
Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11)
Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau urusan jual beli yang sedang ditangani –sebagai pedagang Muslim– janganlah pernah sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.
5. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.
Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)
“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)
6. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah dikumandangkan. Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya dengan alasan kesibukan perdagangan.
Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat terkenal di hampir seluruh penjuru dunia. (Sumber: Al ’Amal Fil Islam karya Izzuddin Khatib At Tamimi (terj.) Bisnis Islam, alih bahasa H. Azwier Butun, Penerbit PT Fikahati Aneska Jakarta)

D.               PENERAPAN AJARAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA 
        Dalam ekonomi Islam juga etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya . Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya.
1.      Etika Dan Perilaku Ekonomi
Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu :
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4 .Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (kalifah)Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.
2.      Etika Bisnis
Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda.
BAB 3
PENUTUP

Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).
Dapatkah kiranya ”perumpamaan” ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)










DAFTAR PUSTAKA

Lunati, M. Teresa, Ethical Issues in Economics, from Altruism to Cooperation to Equality, St. Marten’s Press, New York, 1997.
Nagvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics, An Islamic Synthesis, The Islamic Foundation, London, 1981.
Swedberg, Richard, Max Weber and the Idea of Economic Sociology, Princeton UP, Princeton, 1998
Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958
--------------, Economy and Society, University of California, 1978
--------------, General Ecoomic History, Collier Books, 1961
Wilson, Rodney, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, 1997.
http:/www.ekonomi islam.com/