Selasa, 20 Maret 2012

sosiologi

Presiden: Kemajemukan Tidak Boleh Menciptakan Diskriminasi


MANADO, KAMIS — Dalam sambutannya di depan umat Kristiani yang tengah merayakan Natal di Manado, Kamis (25/12) malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak boleh menjadi penghalang anak bangsa untuk bersatu.
"Kemajemukan tidak boleh menciptakan diskriminasi dan egoisme. Tidak ada kelompok yang boleh merasa di atas, semua memiliki kedudukan yang sama," tegasnya. Ia juga berpesan pada umat Kristiani baik di Sulawesi
Bradley Kanaris/Getty Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Utara maupun di seluruh Indonesia agar terus mengembangkan tata kehidupan yang selama ini sudah dijalankan, tetap rukun, dan bekerja sama.
Ia mengharapkan umat Kristiani terus mengembangkan dan memperkuat nilai luhur sehingga mendorong Indonesia menjadi bangsa yang unggul. Pesan tersebut disampaikannya saat menghadiri perayaan Natal di Guest House Gubernur Sulawesi Utara Bumi Beringin Manado, Kamis (24/12) malam.
"Saya berharap seluruh umat Kristiani dapat memperkuat nilai dan perilaku luhur peradaban bangsa untuk memperkokoh kemandirian dan keunggulan bangsa," ujarnya. Presiden SBY mengatakan, sikap optimistis dalam menghadapi kehidupan dapat menjadi modal yang kuat untuk bergerak menjadi bangsa yang mandiri dan memiliki peradaban yang unggul.
Presiden hadir dalam acara itu didampingi oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono. Hadir pula Gubernur Sulut SH Sarundajang, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menko Polhukam Widodo AS, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Mensesneg Hatta Radjasa, dan sejumlah pejabat baik Pemprov Sulut maupun Kota Manado. Acara dimulai sekitar pukul 19.00 WITA dan berakhir pada pukul 21.00 WITA.

Angggapan mengenai Kemajemukan masyarakat di Indonesia:
Menurut Clifford Geertz masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistim yang relatif berdiri sendiri-sndiri.
Geertz secara rinci menggambarkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari
berbagai sisi :
1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan ini menunjuk kepada ikatan dasar hubungan darah (keturunan) yang dapat ditelusuri yang berdasarkan garis keturunan ayah, ibu, atau keduanya.
2. Ras
Ras dapat dibedakan dari ciri-ciri fisik orang lain ( rambut, kulit, bentuk muka, dan lain-lain).
3. Daerah Asal
Daerah asal, merupakan tempat asal orang lahir yang akan memberikan ciri tertentu apabila yang bersangkutan berada ditempat lain, seperti dialek yang digunakan, anggota organisasi yang bersifat kedaerahan, perilaku, dan lain-lain.
4. Bahasa
Bahasa, menggunakan bahasa daerah sukunya masing-masing.
5. Agama
agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia
berbeda-beda.
.
Untuk membangun solidaritas sosial antara masyarakat, Nasikun mengatakan
paling tidak ada dua pendekatan atau perspektif yang dapat digunakan, yaitu:
perspektif sistem sosial dan sistem budaya.
Perspektif sistem sosial, yaitu melalui inter-group relation, yang dimaksudkan sebagai hubungan antara anggota-angota dari berbagai kelompok.Makin intensif hubungan antar kelompok, makin tinggi pula tingkat integrasi diantara mereka. Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir konflik-konflik diantara kelompok, karena setiap anggota kelompok tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadinya fanatisme sempit, sentimen-sentimen primordial juga akan dapat dinetralisir karena kegandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.

Perspektif sistem budaya, dikatakan bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Semakin kuat nilai-nilai umum itu berlaku bagi kelompok-kelompok dalam masyarakat, akan semakin kuat pula perekat bagi mereka.

Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1954 mengingatkan pentingnya memahami kemajemukan budaya yang menjadi ciri bangsa Indonesia. “Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu, demikianlah tertulis di lambang negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita ini bhinna, kita ini berbeda-beda …” (dikutip dari Kompas,4 Maret 2001, hal. 31).

Pernyataan-pernyataan di atas memberikan suatu gambaran bahwa usaha untuk membangun sebuah bangsa yang majemuk, yaitu kondisi masyarakat yang member apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural, ras dan etnis (Speight dalam Deetz,1993:433) atau pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan memberi manfaat satu sama lain (Rogers & Steinfatt,1999:238) masih dalam tahapan mencari bentuk Multikulturalisme.







Dari berbagai teori di atas , maka saya beranggapan bahwa kemajemukan yang terjadi di Indonesia merupakan kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Padahal agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera. Seharusnya pada era globalisasi ini, kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan konflik-konflik, Disamping itu nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Sehubungan dengan kedua hal tersebut, dipandang penting adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat plural yang demokratis untuk memperkuat ketahanan sosial. Permasalahannya sekarang bahwa toleransi dalam kehidupan bersama semakin lemah, dan anti toleransi serta anti pluralisme semakin menguat. Untuk itu toleransi perlu dikembangkan, dan cara mengembangkan toleransi dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sistem sosial dan sistem budaya.Pendekatan sistem sosial dilakukan melalui inter-group relation, yaitu hubungan antara anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi diantara mereka. Dengan adanya inter-group relation ini dapat pula menetralisir konflik-konflik diantara kelompok, karena setiap anggota kelompok tidak akan memiliki loyalitas tunggal dalam suatu kelompok tertentu, namun sebaliknya loyalitas mereka ganda berdasarkan kelompok-kelompok yang mereka masuki. Dengan demikian kekhawatiran akan terjadi fanatisme sempit, sentimen-sentimen primordial juga akan dapat dinetralisir karena keandaan loyalitas yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok. Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Nilai-nilai umum ini sebagai perekat bagi kelompok-kelompok dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan masyarakat multi etnik yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Melalui kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan toleransi untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat. Mengingat sering terjadinya benturan antara umat beragama yang menimbulkan konflik sosial, maka disarankan perlunya ditingkatkan “dialog” antar umat beragama sebagai langkah pertama menuju kerukunan dan perdamaian dan mendorong bangsa Indonesia yang unggul dalam segala aspek kehidupan sebagai perwujudan dari manusia yang berahlak mulia, berilmu, mandiri (manusia seutuhnya) yang cakap dalam berbagai kondisi social. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar